SUMBANGSIH MAHASISWA SASTRA BAGI DUNIA SASTRA

Saya tergelitik adagium anonim yang berujar bahwa “jika ingin jadi sastrawan atau penulis kenamaan, jangan kuliah di jurusan sastra.” Ujaran itu saya dengar langsung dari orang yang merespon perkataan saya yang menyatakan bahwa saya kuliah di jurusan sastra Indonesia.
Perkataan orang itu ada benar dan tidak benarnya. Sastrawan kenamaan yang “harum namanya” seperti Taufik Ismail, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad, sampai dengan sastrawan kiwari seperti Dewi Lestari tidak pernah punya riwayat mengenyam pendidikan sastra formal di bangku kuliah. Tetapi, deretan nama sastrawan yang juga harum namanya seperti Sapardi Djoko Damono, Rendra, Triyanto Triwikromo, sampai Ayu Utami adalah pernah merasakan pendidikan sastra secara formal yang dimaksud tadi.
Ada lagi ungkapan lain yang seakan-akan memperkuat ungkapan di atas. Ungkapan seorang dosen wanita ketika ia membawakan kuliah pengantar pengkajian sastra. Ia berujar bahwa mahasiswa sastra dididik formal di program studi sastra adalah untuk menjadi ilmuwan sastra (saya menangkapnya kritikus sastra). Stop. Omongannya berhenti sampai disitu. Awalnya saya menebak ia akan lanjut berkata “mahasiswa sastra juga dididik untuk menjadi praktisi sastra atau penulis hebat.” Nyatanya tidak. Jurusan sastra tidak mendidik mahasiswanya untuk jadi penulis hebat.
Biarkanlah adagium-adagium tadi saling bersahutan. Namun, bertolak dari adagium tadi, bisa kita petakan apa dan sejauh mana sumbangsih mahasiswa sastra bagi dunia sastra lewat dua cara, yakni kepenulisan non-fiksi (Tulisan-tulisan mengkritisi karya sastra) serta kepenulisan fiksi (Tulisan-tulisan berupa novel, cerpen, puisi, naskah drama, dsb.)
×××
Begitu mudahnya menemui tulisan-tulisan mahasiswa sastra berjenis esai atau kritik atas suatu karya sastra, yakni lewat makalah-makalah atau skripsi-skripsi mereka. Namun, jangan lekas percaya dengan kualitas tulisannya, terlebih asas kebergunaan tulisan tersebut bagi khazanah dunia sastra.
Saya pernah secara langsung menangkap ungkapan kekecewaan sang dosen yang banyak membimbing skripsi-skripsi mahasiswa sastra. Jangan jauh-jauh bicarakan kualitas esensi tulisan. Dosen tersebut kecewa dengan gaya penulisan mahasiswa yang begitu alakadarnya. Gaya bahasa yang monoton ataupun ejaan yang masih banyak khilaf disana sini. Belum lagi sikap skeptis sang dosen dengan metode mengutip mahasiswa-mahasiswanya. Kesalahan pengutipan bakal berujung pada potensi plagiarisme, sebuah tindakan memalukan dalam dunia akademik.
Saya pribadi seia dengan keluhan-keluhannya. Menyandang predikat mahasiswa sastra, seharusnya mereka sadar dengan beban moral bahwa mahasiswa sastra adalah mahasiswa yang kesehariannya berkutat dengan perihal tulis menulis. Maklum jika ada kesalahan penulisan sedikit, namun jika kesalahannya besar atau bahkan jadi penyebab utama proses kreatif mahasiswa sastra, patut dipertanyakan apa yang mereka lakukan selama empat tahun mengenyam kuliah di jurusan sastra.
Itu baru masalah pokok tata cara penulisan. Belum lagi perihal kajian atau analisis. Skripsi mahasiswa sastra cenderung berkutat pada analisis yang itu-itu saja. Seakan-akan hanya mengganti objek penelitian dengan mengganti judul novel atau judul puisi lain, analisis yang dipakai adalah dengan meniru skripsi kakak-kakak seniornya yang terpajang rapi di rak perpustakaan. Teori-teori yang digunakan monoton, seakan-akan dunia sastra tidak pernah kedatangan teori baru untuk kemudian bisa digunakan.
Tulisan-tulisan ilmiah mahasiswa sastra itu paling mentok hanya sampai momen sidang di depan penguji. Selepas itu, tulisan-tulisan ilmiah akan dijilid sebagaimana mestinya untuk kemudian dijejer rapi di rak perpustakaan. Menunggu adik-adik tingkatan datang untuk membaca dan “mengadaptasi” skripsi itu menjadi skripsi mereka. Begitu seterusnya dan itu nyata adanya. Tidak pernah mungkin terbersit di pikiran mahasiswa-mahasiswa sastra untuk membuat hajatan agung atas penelitian-penelitian ilmiahnya dengan menggelar seminar atau simposium bertemakan “skripsi-skripsi mahasiswa sastra”.
Jangankan untuk menggelar helatan formal semacam seminar, untuk mengadakan diskusi kecil-kecilan yang membahas skripsi-skripsi mereka pun tidak. Mahasiswa-mahasiswa sastra hanya sibuk mendiskusikan karya-karya fiksi fenomenal atau bahkan diskusi-diskusi berat permasalahan bangsa yang tidak ada sedikit pun entri ‘sastra’ disebut-sebut di dalamnya. Bahkan, segelintir besar dari mahasiswa sastra sama sekali tidak akrab dengan apa yang disebut ‘diskusi’.
Sungguh, harus diakui eksistensi pergerakan mahasiswa yang urun sumbang peran atas peristiwa-peristiwa politik penting di republik ini. Saya pun meyakini banyak mahasiswa-mahasiswa sastra terlibat di dalamnya. Akan tetapi, selayaknya mahasiswa sastra yang terhanyut arus pergerakan politik tadi tidak lupa akan trahnya sebagai mahasiswa sastra. Pendek kata, ikut menyumbangkan sesuatu yang berdampak besar bagi kemajuan dunia sastra republik ini.
Di satu sisi, harus juga diakui dunia sastra kita terus bergeliat dari segi produktivitas kepenulisan fiksinya. Mendominasinya karya-karya sastra populer ala remaja di rak-rak toko buku jadi salah satu hipotesa awal bahwa dunia sastra tidak pernah sepi pengunjung. Namun, jika kembali pada permainan adagium, ungkapan “dunia sastra tidak akan maju pesat jika penulisan kritik sastra tidak tumbuh subur di dalamnya” juga patut direnungkan. Tumbuh suburnya karya-karya fiksi tidak beriringan dengan karya-karya kritik sastra. Mahasiswa sastra selayaknya jadi tokoh utama untuk mengatasi ketimpangan ini. Kecakapan mahasiswa akan teori-teori kesusastraan yang komprehensif seharusnya tidak bisa diragukan. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Bisa dikatakan dunia kesusastraan ‘suwung’ dari tulisan-tulisan bergenre kritik sastra karena andil mahasiswa sastra yang tak ada di sana. Adapun, satu-satunya tulisan kritik sastra “bergengsi” yang pernah penulis temui adalah pada rubrik seni di Harian KOMPAS tertanggal 9 Maret 2014. Tulisan Sartika Sari, mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan itu membahas perihal perempuan pada puisi karya Frieda Amran, seorang penyair yang juga Antropolog. Selebihnya, terasa sulit menemukan tulisan-tulisan demikian. Dunia Kritik begitu tak menarik untuk dilirik.
Dunia kepenulisan fiksi punya cerita yang sedikit melegakan. Banyaknya antologi puisi atau cerpen hasil cipta mahasiswa-mahasiswa sastra (meskpiun sangat terbatas peredarannya), mahasiswa sastra yang bersolo karier dengan menulis novel sendiri, sampai pada mereka yang beradu nasib berharap puisi atau cerpennya dimuat di koran-koran Minggu. Setidaknya, lewat berbagai macam jenis cara tadi, ada upaya untuk mencari perhatian khalayak sastra lewat karya-karyanya.
×××
Ada lagi jenis ‘wabah’ lain menerpa mahasiswa-mahasiswa sastra yang menekuni proses teater. Jarang diantara mereka yang ‘percaya diri’ membawakan naskah tulisannya sendiri untuk kemudian dipentaskan. Meskipun ada, namun sangat jarang ditemui eksistensi naskah-naskah tulisan mereka. Kebanyakan dari mereka hanya berani mengadaptasi naskah-naskah drama yang sudah ada. Saya tak mengerti apakah ada semacam peraturan tak tertulis yang menganjurkan mahasiswa sastra untuk menahan diri dengan tidak mementaskan pementasan drama menggunakan naskah hasil tulisannya sendiri.
Bertolak dari permasalahan-permasalahan tadi, bisa disusun kesimpulan bahwa belum ada sumbangsih signifikan yang diberikan mahasiswa sastra bagi dunia mereka sendiri, yakni dunia sastra.
Tentunya, sekelumit permasalahan-permasalahan tadi bukan hanya ‘dosa’ mahasiswa sastra saja. Malah, ada pihak-pihak lain yang penting peranannya demi memaksimalkan peran mahasiswa sastra bagi dunia sastra. Para desainer kurikulum di jurusan Sastra harus berpikir serius untuk menyikapi perihal ini. Jurusan sastra harusnya jadi tempat subur tumbuh dan kembangnya para penulis-penulis masa depan harapan dunia kesusastraan. Tidak hanya penulis fiksi saja, melainkan penulis non-fiksi berupa kritik sastra tadi. Para desainer kurikulum jurusan sastra juga harus berpikir bagaimana caranya jurusan sastra tidak hanya sekadar jadi ‘tempat kuliah asal dapat ijazah’, meluluskan orang-orang yang seharusnya paham dengan persoalan kesusastraan, dan hendaknya pemahaman itu bisa berguna kelak bagi dunia kesusastraan.
Tidak hanya itu, para pendesain kurikulum di jurusan sastra pun seharusnya berpikir perihal alih bahasa karya sastra. Sapardi Djoko Damono di dalam sebuah kesempatan berbicara tentang salah satu hal yang menyebabkan kesusastraan Indonesia belum begitu dipandang dunia internasional karena masih sedikitnya terjemahan karya-karya sastra Indonesia dalam bahasa asing. Menyikapi hal demikian, menyiapkan mata kuliah “alih bahasa karya sastra” adalah salah satu caranya.
Mempercayakan mahasiswa-mahasiswa sastra dengan memberikannya wahana serta kesempatan bicara banyak dalam dunia kesusastraan adalah sebuah keniscayaan yang harus dicicil dari sekarang. Perhelatan internasional pameran buku sastra sedunia di Indonesia pada 2015 mendatang selayaknya jadi pelecut spirit ini.

Alvidhiansyah,
Sasindo 2010

Leave a comment